Tags
Renyah. Suara tawa itu dari wajah-wajah sumringah.
Kuedarkan pandang, dan kutemukan momen-momen indah.
Suami-suami, istri-istri, anak-anak. Banyak keluarga kecil di sini. Berkumpul dalam naungan malaikat. Ah, indah memang kalau rumah Alloh seramai ini.
Suami-suami, istri-istri, anak-anak. Terpancar sakinah dalam wajah. Namun entah, ada resah yang menyelinap. Sejenak membuat mata ini kaca.
Ngilu, menggeliat tak tahu malu. Membuatku sesak menahan pilu. Aku mengerjapkan mata, lagi dan lagi. Pura-pura kelilipan. Ah, tentu saja hanya aku yang tahu sesungguhnya apa yang kurasakan.
Sepotong hati yang rindu. Merindumu hadir di sini. Sebagai suami, qowwam, pengayom, pembimbing, bahkan seorang pengawal. Siap siaga mendampingi istri dan anak-anakmu dalam banyak kesempatan, yang sayangnya lebih banyak kau sia-siakan.
Betapa semua idealisme itu indah, memikat, namun menawanku dalam kekecewaan. Asa yang sekian lama menjadi mimpi belaka. Doa yang sekian lama kuuntai dalam setiap helaan napas.
Kini, saat aku merasa lelah dan kalah, hingga harap hampir terlepas dari genggaman. Mungkin inilah saatnya, di mana aku harus maju. Berani mengadu.
Tak ingin selamanya aku diam dan bertahan. Mengumpulkan begitu banyak tangis, penat, dan sakit yang sepertinya kau tak selalu sadar, telah kau torehkan.
Ramadhan, akan kujadikan momen penuh pengharapan. Satu, dua, banyak asa dalam benak, bermunculan. Kepada siapa lagi aku meminta petunjuk jalan? Kalau bukan hanya pada Allah Yang Maha Penyayang.